dapetr hinaan tambahan
hei, masi inget topik ffi waktu itu, aku nemu wacana yg ngina banget ama ekskul dan stuju bgt ama yang penulis blg, dan in dia hinaannya hidup mfi, piala citraku udah kubalikin sbg laughing scene 2003 loooo:
Kamis, 21/12/2006, malam melalui layar kaca Indosiar kita menyaksikan malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 2006. Pertama-tama, mari kita tengok teknis penyelenggaraannya. Lewat acara malam itu saya enggak menangkap format atau tema acara. Mau serius, lucu-lucuan, atau jayus-jayusan? Kalo targetnya yang terakhir, acara itu benar-benar sukses. Ya, jayus. Ditinjau dari segi sambutannya, padahal acara ini resmi. Tapi dalam visualisasi pembacaan nominasi kok ya ada anekdot -- minus tentang tokoh penting -- yang dibintangi Kiwil dan Yadi Sembako? Pengantar lawakan seperti ini jelas lebih nyambung kalau dibikin untuk acara sejenis MTV Movie Awards.
Lainnya, pembacaan kategori dan penyerahan Piala Citra kebanyakan dilangsungkan secara dobel (dua item sekaligus) dan enggak disediakan kesempatan berpidato bagi penerimanya. Paling-paling nominasi yang dianggap prestisius (misal=aktor/aktris terbaik) yang dibaca dan diserahin secara spesial. Ini bentuk efektivitas atau diskriminasi?
Sudah begitu kalimat yang dipakai untuk menyampaikan peraihan Piala Citra: “Dan pemenangnya adalah...” Ini kompetisi turnamen, apa? Kalau ini ajang apresiasi, saran saya kalimat yang lebih tepat digunakan: “Dan peraihnya adalah...” Para nominator kan sudah diapresiasi, cuma dipilih yang paling menonjol di antaranya. Pokoknya kalau mau cari mudarat untuk acara ini sepertinya rol kertas print-out mesin kasir dibutuhkan.
Terlepas dari sisi negatif penyelenggaraan, harus dipahami pula bahwa signifikansi penyelenggaraan acara ini ialah eksistensi FFI sendiri. Acara penghargaan jelas sangat memberikan efek dari segi moril. Inilah salah satu hal yang dibutuhkan para sineas dan calon sineas Indonesia. Lebih-lebih mulai tahun depan FFI mulai menghidupkan kembali karakter nasionalnya, dengan penyelenggaraannya yang di daerah-daerah. Tidak terus-terusan di ibukota Jakarta tercinta.
Sekarang, sedikit membahas peraihan Piala Citra FFI 2006. Lebih seru kalau langsung membahas hal yang paling kontroversial. Film Terbaik=Ekskul. Spontan waktu itu batin saya menjerit: Ya Amplop! Emang saya akui kalau saya belum menonton semua nominator film terbaik FFI 2006. Tapi, sejak awal saya sudah bingung bahwa mengapa film arahan Nia Dinata “Berbagi Suami” enggak masuk nominasi film terbaik? Menurut saya (subyektif, jadi enggak perlu disanggah), “Ekskul” enggak level dengan “Berbagi Suami” dari segi dramaturgi. Padahal, dramaturgi menjadi unsur yang paling digembar-gemborkan dewan juri FFI 2006. Menurut mereka, film-film Indonesia yang diseleksi FFI 2006 banyak yang masih memiliki kelemahan dramaturgi. Entahlah, saya enggak bisa berkata banyak karena ini merupakan hasil pemilihan dewan juri FFI 2006 terhormat.
“Ekskul”. Film tentang penyanderaan enam orang (siswa-siswi SMU) oleh teman yang sering mereka lecehkan. Topik film ini cukup ngangkat, coz simply but it could be meaningful. Bagian awal film sudah menyuratkan bahwa “Ekskul” diilhami dari kisah nyata. Cerita film ini utuh. Maksudnya, keseluruhan plot enggak ada yang terasa bolong alias terjelaskan secara kausalitas. Walau ada sedikit bagian pendukung cerita yang antikuarian dan mengganjal. It’s OK, ini semua enggak jadi masalah. Malahan mungkin kausalitas integrallah yang mengantar “Ekskul” memboyong piala citra film terbaik. Beberapa hal yang menjadi masalah, antara lain: orisinalitas, (justru) dramaturgi, dan pesan.
(Orisinalitas) Pada bagian tertentu aspek teknis “Ekskul” (kalau boleh dibilang secara kasar) merupakan hasil comotan. Dengar saja musik latarnya. Seingat saya ada yang mencuwil dari “Gladiator” dan “Crash”.
(Dramaturgi) Kekalahan utama “Ekskul” malah dalam upaya membangun drama. Di awal tulisan saya memberi pengertian bahwa kausalitas “Ekskul” mungkin integral. Bahkan logis. Lalu bagaimana dengan logika internalnya? Di sini saya berusaha memaparkan sedikit perusak dramaturgi “Ekskul”, terutama dari sorotan karakter dan akting. Dalam “Ekskul” figur seorang kepala sekolah digambarkan begitu judes sepanjang waktu, cuek, dan suka bersolek. Sifat-sifat ini memang wajar dimiliki manusia, tapi apa iya seorang kepala sekolah punya sifat buruk yang lengkap seperti itu? Semua pemain sukses menampilkan hiperbola. Nah sekarang, “Ekskul” mau diarahin jadi film pleonastis yang diilhami dari kisah nyata atau film kolokial yang nyata? Kalau pilihan jatuh pada opsi terakhir jelas “Ekskul” gatot (gagal total) atau ambyar! Intinya, logika internal sebuah film harusnya kontekstual. Tidak hanya asal logis saja.
(Pesan) Ekskul lebih merupakan film penyampai pesan moral yang redundan, teramat berlebihan. Dijelaskan dalam film bahwa peristiwa penyanderaan yang terjadi oleh banyak kalangan jurnalis dinilai sebagai macam kriminalitas baru di Indonesia. Sampai-sampai banyak stasiun TV yang meliput menjadikannya bahan breaking news. Pernah atau akankah terjadi breaking news TV dalam pertelevisian Indonesia yang meliput penyanderaan enam orang di ruang BP sebuah SMU? Lebih-lebih semua korbannya bukan “orang penting” atau enggak ada yang jadi anak “orang penting”? Di samping itu, kekurangtepatan “Ekskul” dalam menyampaikan pesan mengingatkan saya pada film “Belahan Jiwa”. Di akhir film, terdapat tag-advice yang bukan merupakan kutipan dari kitab atau buah pikiran tokoh-tokoh besar. Hak ya jelas hak, tapi sejak kapan penulisan pesan on-screen di bagian akhir sebuah film diakui sebagai metode yang jenius? Hemat saya, cara ini malah melecehkan penontonnya. Memangnya masih jamak penikmat film Indonesia yang belum mampu menarik makna di balik sebuah film?
Terima kasih FFI 2006, engkau telah memberi saya terapi syok yang berarti. Mari kita nikmati film Indonesia terbaik tahun 2006. Mari bersama-sama kita belajar dramaturgi lewat “pemenang” Piala Citra ini. Maju film Indonesia! Harap kemajuan dimaknai bukan dari sudut kuantitas, melainkan kualitas.
(Penulis ialah penikmat film yang tinggal di Kota Gudeg & tulisan ini dibuat sebelum beberapa Piala Citra dikembalikan oleh Masyarakat Film Indonesia.)
(22 Januari 2007)
Kamis, 21/12/2006, malam melalui layar kaca Indosiar kita menyaksikan malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 2006. Pertama-tama, mari kita tengok teknis penyelenggaraannya. Lewat acara malam itu saya enggak menangkap format atau tema acara. Mau serius, lucu-lucuan, atau jayus-jayusan? Kalo targetnya yang terakhir, acara itu benar-benar sukses. Ya, jayus. Ditinjau dari segi sambutannya, padahal acara ini resmi. Tapi dalam visualisasi pembacaan nominasi kok ya ada anekdot -- minus tentang tokoh penting -- yang dibintangi Kiwil dan Yadi Sembako? Pengantar lawakan seperti ini jelas lebih nyambung kalau dibikin untuk acara sejenis MTV Movie Awards.
Lainnya, pembacaan kategori dan penyerahan Piala Citra kebanyakan dilangsungkan secara dobel (dua item sekaligus) dan enggak disediakan kesempatan berpidato bagi penerimanya. Paling-paling nominasi yang dianggap prestisius (misal=aktor/aktris terbaik) yang dibaca dan diserahin secara spesial. Ini bentuk efektivitas atau diskriminasi?
Sudah begitu kalimat yang dipakai untuk menyampaikan peraihan Piala Citra: “Dan pemenangnya adalah...” Ini kompetisi turnamen, apa? Kalau ini ajang apresiasi, saran saya kalimat yang lebih tepat digunakan: “Dan peraihnya adalah...” Para nominator kan sudah diapresiasi, cuma dipilih yang paling menonjol di antaranya. Pokoknya kalau mau cari mudarat untuk acara ini sepertinya rol kertas print-out mesin kasir dibutuhkan.
Terlepas dari sisi negatif penyelenggaraan, harus dipahami pula bahwa signifikansi penyelenggaraan acara ini ialah eksistensi FFI sendiri. Acara penghargaan jelas sangat memberikan efek dari segi moril. Inilah salah satu hal yang dibutuhkan para sineas dan calon sineas Indonesia. Lebih-lebih mulai tahun depan FFI mulai menghidupkan kembali karakter nasionalnya, dengan penyelenggaraannya yang di daerah-daerah. Tidak terus-terusan di ibukota Jakarta tercinta.
Sekarang, sedikit membahas peraihan Piala Citra FFI 2006. Lebih seru kalau langsung membahas hal yang paling kontroversial. Film Terbaik=Ekskul. Spontan waktu itu batin saya menjerit: Ya Amplop! Emang saya akui kalau saya belum menonton semua nominator film terbaik FFI 2006. Tapi, sejak awal saya sudah bingung bahwa mengapa film arahan Nia Dinata “Berbagi Suami” enggak masuk nominasi film terbaik? Menurut saya (subyektif, jadi enggak perlu disanggah), “Ekskul” enggak level dengan “Berbagi Suami” dari segi dramaturgi. Padahal, dramaturgi menjadi unsur yang paling digembar-gemborkan dewan juri FFI 2006. Menurut mereka, film-film Indonesia yang diseleksi FFI 2006 banyak yang masih memiliki kelemahan dramaturgi. Entahlah, saya enggak bisa berkata banyak karena ini merupakan hasil pemilihan dewan juri FFI 2006 terhormat.
“Ekskul”. Film tentang penyanderaan enam orang (siswa-siswi SMU) oleh teman yang sering mereka lecehkan. Topik film ini cukup ngangkat, coz simply but it could be meaningful. Bagian awal film sudah menyuratkan bahwa “Ekskul” diilhami dari kisah nyata. Cerita film ini utuh. Maksudnya, keseluruhan plot enggak ada yang terasa bolong alias terjelaskan secara kausalitas. Walau ada sedikit bagian pendukung cerita yang antikuarian dan mengganjal. It’s OK, ini semua enggak jadi masalah. Malahan mungkin kausalitas integrallah yang mengantar “Ekskul” memboyong piala citra film terbaik. Beberapa hal yang menjadi masalah, antara lain: orisinalitas, (justru) dramaturgi, dan pesan.
(Orisinalitas) Pada bagian tertentu aspek teknis “Ekskul” (kalau boleh dibilang secara kasar) merupakan hasil comotan. Dengar saja musik latarnya. Seingat saya ada yang mencuwil dari “Gladiator” dan “Crash”.
(Dramaturgi) Kekalahan utama “Ekskul” malah dalam upaya membangun drama. Di awal tulisan saya memberi pengertian bahwa kausalitas “Ekskul” mungkin integral. Bahkan logis. Lalu bagaimana dengan logika internalnya? Di sini saya berusaha memaparkan sedikit perusak dramaturgi “Ekskul”, terutama dari sorotan karakter dan akting. Dalam “Ekskul” figur seorang kepala sekolah digambarkan begitu judes sepanjang waktu, cuek, dan suka bersolek. Sifat-sifat ini memang wajar dimiliki manusia, tapi apa iya seorang kepala sekolah punya sifat buruk yang lengkap seperti itu? Semua pemain sukses menampilkan hiperbola. Nah sekarang, “Ekskul” mau diarahin jadi film pleonastis yang diilhami dari kisah nyata atau film kolokial yang nyata? Kalau pilihan jatuh pada opsi terakhir jelas “Ekskul” gatot (gagal total) atau ambyar! Intinya, logika internal sebuah film harusnya kontekstual. Tidak hanya asal logis saja.
(Pesan) Ekskul lebih merupakan film penyampai pesan moral yang redundan, teramat berlebihan. Dijelaskan dalam film bahwa peristiwa penyanderaan yang terjadi oleh banyak kalangan jurnalis dinilai sebagai macam kriminalitas baru di Indonesia. Sampai-sampai banyak stasiun TV yang meliput menjadikannya bahan breaking news. Pernah atau akankah terjadi breaking news TV dalam pertelevisian Indonesia yang meliput penyanderaan enam orang di ruang BP sebuah SMU? Lebih-lebih semua korbannya bukan “orang penting” atau enggak ada yang jadi anak “orang penting”? Di samping itu, kekurangtepatan “Ekskul” dalam menyampaikan pesan mengingatkan saya pada film “Belahan Jiwa”. Di akhir film, terdapat tag-advice yang bukan merupakan kutipan dari kitab atau buah pikiran tokoh-tokoh besar. Hak ya jelas hak, tapi sejak kapan penulisan pesan on-screen di bagian akhir sebuah film diakui sebagai metode yang jenius? Hemat saya, cara ini malah melecehkan penontonnya. Memangnya masih jamak penikmat film Indonesia yang belum mampu menarik makna di balik sebuah film?
Terima kasih FFI 2006, engkau telah memberi saya terapi syok yang berarti. Mari kita nikmati film Indonesia terbaik tahun 2006. Mari bersama-sama kita belajar dramaturgi lewat “pemenang” Piala Citra ini. Maju film Indonesia! Harap kemajuan dimaknai bukan dari sudut kuantitas, melainkan kualitas.
(Penulis ialah penikmat film yang tinggal di Kota Gudeg & tulisan ini dibuat sebelum beberapa Piala Citra dikembalikan oleh Masyarakat Film Indonesia.)
(22 Januari 2007)
Comments